Wajah itu tersenyum ke arahku. Wajah yang selama belasan
tahun ini telah merawatku hingga aku dewasa dan mendapatkan gelar sarjanaku
sekarang. Senyumnya masih bertahan
hingga tetes air mata harunya mengalir melewati kedua belah pipinya. Aku segera
berlari ke arahnya lalu kupeluk tubuhnya yang semakin renta. Cukup lama kami berpelukan, hingga pelukan
hangat ini pun terlepas ibuku masih tersenyum. Ia mengelus-elus rambutku lalu
mencium dahiku.
“Selamat sayang, kamu sudah sarjana sekarang” ucapnya tanpa
memperdulikan aliran air matanya yang semakin panjang.
“Ibu, ini semua berkat ibu, semua karena ibu. Akulah yang
harusnya berterimakasih pada ibu” kataku sambil mengulap air matanya lalu
kembali memeluk ibuku.
ayang, ibu yakin kamu akan menjadi orang hebat nanti. Andai
ayahmu dapat melihat ini, andai ayahmu dapat memelukmu sekarang, andai
ayahmu.....”
Ucapan ibu tertahan di tenggorokannya, ia terdiam sejenak
dengan tatapan kosongnya seperti biasa.
“ ibu.....” Aku
menatap wajahnya yang kini kaku, bola matanya sudah membulat ke arah seberang ,
di sana sebuah keluarga utuh sedang merayakan wisuda putri mereka dengan tawa
riang. Beberapa kali mereka berfoto untuk mengabadikan momen bahagia mereka.
Aku tahu, bukan karena pakaian, mobil dan aksesoris mereka yang membuat ibu
terpaku kaku. Ibu karena seorang laki-laki yang mereka panggil ayah yang kadang
membuat ibuku begitu meratapi masa lalunya.
Aku berusaha tegar, itu sudah biasa. Kuelus pundak ibu lalu
kupeluk dia sekali lagi seakan tubuh ini tidak pernah lepas dari pelukannya.
“sudahlah,bu” kataku pelan “ini hari bahagia untuk semua
orang di sini, termasuk kita, tolong lupakan orang itu untuk sesaat.”
Ekspresi ibuku tidak berubah, aku pun berusaha
menjauhkannya dari keramaian. Kuajak ia berfoto bersama seperti keluarga
bahagia tadi. Tetap kesedihan di hatinya tidak juga hilang. Keluarga itu
sangatlah mengacau, sampai kami pulang pun ibuku masih murung. Duduk terpaku di
kursi malasnya sambil memandangi foto pernikahannya yang separuhnya telah robek
entah kemana.
Berulang kali kuajak dia berbicara, kuceritakan tentang
masa kecilku lalu tentang hal-hal lucu yang pernah kualami. Secuil senyum tipis
terukir. Aku cukup lega melihatnya, setidaknya dia akan kembali bangkit dan
seceria seperti biasa besok. Aku sudah sering mengalaminya berkali-kali, jika
dia diam berarti selama semingu ini dia akan terus begitu, tapi senyum tipis
itu sudah cukup bagiku sebagai kode bahwa dia ingin sendiri hari ini.
***********
Tok tok tok
“Assalamualaikum”
sebuah salam terdengar cukup mengagetkanku. Aku segera membukakan pintu
dan menjawabnya. Tamuku hari ini adalah bambang, sahabat dekatku dari aku masuk
universitas sampai sekarang lebih dari seorang sahabat.
“kamu, mbang, ngagetin aja” ucapku basa basi.
“huh kamu, calon suami dateng ke rumah
ibu mertua dibilang ngagetin” candanya seperti biasa. Aku tertawa kecil untuk
menutupi kesedihanku sekaligus agar dia tidak tersinggung. Tanpa disuruh masuk
pun bambang sudah langsung masuk dan memanggil nama ibuku dengan keras seperti
memanggil nama ibu kandungnya di rumah sendiri.
“kok nggak ada jawaban? Nggak kayak
biasanya” tanya bambang heran.” Padahal aku ada berita penting.”
Tergiang dalam benakku ingin bertanya
berita penting apakah itu? Tapi segera aku hanya diam. Berita itu tidak penting
lagi ketika keadaan ibuku seperti ini bahkan wisudakupun sudah tidak membuatnya
senang ketika mengingat laki-laki itu.
“ibu beneran ada di rumah enggak sih?
Kok sepi” tanya bambang sekali lagi. Dia mungkin sedikit kesal karena tidak
direspon positif seperti biasanya.
“Ibu tidak bisa diganggu hari ini” aku
berusaha menjelaskan.” Dia sedang ingin sendiri....”
“Ada apa? Kamu sedang bertengkar
dengannya?”
Aku menggelengkan kepala,” tidak, kami
baik-baik saja. Ini semua karena laki-laki itu, ibuku terus memikirkannya sejak
wisudaku kemarin.”
Aku pun menceritakan kejadian tadi
siang di wisudaku yang membuat ibuku tidak berbicara sedikitpun padaku sampai
sekarang.
“Ini semua karena laki-laki pengecut
itu, dia meninggalkan kami sejak aku kecil. Dan ketika ibuku mengingatnya dia
pasti akan seperti itu. Meratapi laki-laki itu, melihati fotonya. Ini harusnya
menjadi hari bahagiaku sekarang tapi kenapa seperti ini? Kenapa kenangan
tentang ayahku selalu membuatnya seperti itu? Kapan dia sadar, kapan dia tahu
laki-laki itu yang sudah meninggalkannya, kapan ibuku bisa melupakannya?” Aku
mengulap air mataku yang tanpa sadar sudah
mengalir begitu saja.
“Laki-laki jahat itu, disaat aku
membutuhkannya sebagai seorang ayah dia pergi begitu saja. sebenarnya itu bukan
masalah untukku, toh tanpa ayah kami baik-baik saja. tapi yang dilakukannya pada ibuku sungguh
keterlaluan. coba lihat ibu sekarang, dia bahkan seperti tidak mengenali
anaknya sendiri.” aku semakin terisak, pasti aku akan menangis ketika mengingat
laki-laki itu. bahkan satupun memory tentangnya yang aku ingat.
“Aku yakin
ibumu pasti sudah sangat sabar dan tabah menghadapinya” bambang duduk
mendekatiku. Dia hanya menepuk pundakku, aku tahu dia tidak mungkin berbuat
lebih. kupandangi wajahnya untuk sesaat, kutarik nafasku agar bisa berbicara
tapi tetap saja kini aku hanya diam, larut dalam kesedihan ibuku.
“Banyak orang di luar sana yang tidak
bisa bersabar dalam masalahnya, dia mungkin sudah masuk dunia hitam, terlarut
dalam angan-angannya, bisa saja ibumu stress masuk rumah sakit jiwa atau
mungkin ikut meninggalkanmu seperti ayahmu, atau bisa saja dia sudah bunuh diri
karena masalah yang ditimpanya, karena rasa sakit dan benci pada ayahmu. Tapi
sherin, dia tidak melakukannya. Dia tetap menyayangimu, bahkan dia rela
mati-matian mencari nafkah sendiri untuk menyekolahkanmu, memberimu dukungan
seorang diri. Ibumu orang hebat sherin. Dia lebih hebat dari wanita manapun.”
Aku masih diam. Kutatap wajah bambang
sesaat lalu tertunduk malu. Entah kenapa aku begitu malu, aku tidak menyadari
kasih sayang ibuku selama ini, walaupun dia sekarang hanya diam dan meratapi
masa lalunya yang kelam bersama ayahku tapi aku lupa bahwa dia pasti akan
kembali menjadi ibuku, ibuku yang selalu tersenyum manis untukku seakan masa
lalunya sudah hilang. Untuk apa dia melakukannya? Tentu untukku agar aku bisa
melupakan sosok yang tidak pernah ada dalam hidupku sekaligus melupakan
kebencian dalam diriku.
“Sherin”
aku menoleh ke belakang sedikit merasa
kaget. aku tidak tahu kalau ibu sudah ada di belakangku. mungkin dia menguping
pembicaraan kami. aku pun berjalan mendekatinya kupeluk erat tubuhnya.
“Ibu baik-baik saja, kan?” bisikku
padanya.
“Iya sayang, ibu baik-baik saja. ada
sesuatu yang ingin ibu katakan padamu. kukira ini sudah waktunya, sayang.”
“Apa itu,bu katakan saja.”
“Ini tentang ayahmu. Laki-laki yang
ada di keluarga yang kita lihat tadi siang itu ayahmu.”
mataku terbelak tajam karena kaget,
marah sekaligus tidak percaya pada apa yang dikatakan ibu. aku berkali-kali
menggelengkan kepalaku.” Tidak ibu, itu tidak mungkin. Dia.... ibu bilang dia
sudah pergi jauh. Tidak, tidak sudah meninggal, aku yakin dia sudah meninggal.”
“Ayahmu belum meninggal, sayang dia
juga tidak pergi jauh. mungkin kita sering bertemu dengannya tanpa kita sadari,
di jalan, di tempat perbelanjaan, atau di tempat-tempat umum lainnya. Dia hanya
meninggalkan kita.” ibuku menoleh ke arah lain, dia tidak berani menatapku.
“Dia hanya meninggalkan kita, waktu
itu ketika aku pulang menjemputmu dari taman kanak-kanak, ayahmu sudah tidak
ada. hanya selembar kertas yang dia
tinggalkan untukku. aku sangat marah waktu itu, sedih, kecewa. Orang yang
sangat kucintai pergi tanpa alasan. aku tidak bisa melupakan rasa sakit yang
diberikannya sampai saat ini. aku sudah berulangkali bertemu dengannya, tapi aku
tidak bisa mendekatinya aku tidak bisa menanyakan kenapa dia meninggalkanku. walaupun aku ingin sekali memukulinya
atau mengatakan padanya tentang anakku yang sudah dewasa, aku tetap tidak bisa
mengatakannya.....”
“Kenapa, bu? Kenapa?” tanyaku penuh emosi,
kutatap mata ibuku sambil memegang erat kedua pundaknya yang tergoncang karena
tangannku.” IBU KENAPA?”
“Sherin, kamu sendiri sudah bisa
menebak jawabannya bukan? dia sudah berkeluarga, dia sudah punya hidup baru.”
***********
Aku masih tidak percaya dengan apa
yang ibu katakan. Kenyataan bahwa laki-laki di keluarga yang kulihat tadi siang
itu ayahku masih membuatku syok. Kududukkan tubuhku di kursi, mencoba
menenangkan diriku. Orang itu ayahku. Orang yang bahkan tidak kuperhatikan diantara
bahagianya mereka ketika wisuda tadi siang. Dan mungkin mahasiswa yang diwisuda
tadi juga saudaraku. Bagaimana dia bisa
sebahagia itu tadi siang, bagaimana dia bisa melupakan aku dan ibuku yang
selalu memikirkannya. Kutatap selembar kertas yang tadi ibuku ambil dari laci
lemari. Kertas itu sudah sangat kotor
dan berjamur, mungkin sering ditangisi ibuku ketika mengingat ayah. Tapi
tulisan di dalamnya masih utuh. Tinta hitamnyapun belum sedikitmu memudar
walaupun sudah bertahun-tahun ada di laci lemari.
Mawar, aku
pergi sebentar untukmu dan sherin. Jaga dia baik-baik yakinlah kalau aku akan
pulang.
Anwar
“Pembohong” ucapku
melampiaskan emosiku pada tulisan pendek itu. Tulisan inilah yang kadang
membuat ibuku selalu terisak ketika
membacanya.
“Sudahlah, berhenti membacanya” kata
bambang lalu merebut kertas itu dari tanganku.” Kamu akan semakin sedih jika
membacanya.”
“Ayolah,
kenapa masih diam, bukankah ini hari bahagiamu, kamu sudah diwisuda bukan?
padahal empat tahun lalu waktu aku jadi seniormu kamu bilang aku hari bahagiaku adalah ketika aku wisuda
nanti, memakai toge dan membuat orang yang paling kucintai memelukku dengan
sangat bahagia.” bambang tersenyum ke arahku. Aku tahu dia berusaha
menghiburku.” Jangan menangis lagi, lupakan tentang ayah kamu, ini hari
bahagiamu bukan? Oh, ya untuk sarjana muda kita coba kitalihat apa yang
dibawakan pangeran tersayangnya untuknya.”
Bambang berjalan mundur beberapa
langkah dariku lalu mengeluarkan sesuatu dari belakangnya. TADA...
“Bunga” seruku terkejut dengan hadiah
yang dibawanya. Sebelumnya kukira dia lupa hari ini wisudaku, ternyata dia
ingat juga.
“Bagus nggak?”
“Bagus sekali, cantik” kataku seraya
menerima bunga itu dari genggamannya.
“Tapi lebih cantikan kamu sih. Gimana,
apa kamu masih sedih sekarang?”
Aku mencoba tersenyum.” Tidak.” aku
berbohong.
“Mau tahu kabar baik yang ingin aku
katakan tadi?” Bambang memoncongkan
bibirnya seperti moncong bebek.” Mau
tahu nggak?”
Aku mengganggukkan kepala.
“Keluargaku akan datang melamar 3 hari
lagi. Maaf aku tidak bisa menungjungi wisudamu kemarin siang aku sibuk mengurus
semuanya, ibuku bilang lebih cepat lebih baik apalagi kamu sudah diwisuda
sekarang.”
“Benarkah?” tanyaku tidak percaya.
Bambang mengangguk. Aku pun tersenyum
tulus kali ini seakan semua cerita menyakitkan tentang ayahku sudah hilang.
Tentu, 3 hari lagi aku akan menjalin hubungan dengan keluarga baru. Dan aku pun
akan mempunyai calon ayah untuk anak-anakku nanti. Hidup baruku akan segera
dimulai.