Selasa, 09 Agustus 2016

TENTANG AYAH



          Wajah itu tersenyum ke arahku. Wajah yang selama belasan tahun ini telah merawatku hingga aku dewasa dan mendapatkan gelar sarjanaku sekarang.  Senyumnya masih bertahan hingga tetes air mata harunya mengalir melewati kedua belah pipinya. Aku segera berlari ke arahnya lalu kupeluk tubuhnya yang semakin renta.  Cukup lama kami berpelukan, hingga pelukan hangat ini pun terlepas ibuku masih tersenyum. Ia mengelus-elus rambutku lalu mencium dahiku.
          “Selamat sayang, kamu sudah sarjana sekarang” ucapnya tanpa memperdulikan aliran air matanya yang semakin panjang.
          “Ibu, ini semua berkat ibu, semua karena ibu. Akulah yang harusnya berterimakasih pada ibu” kataku sambil mengulap air matanya lalu kembali memeluk ibuku.
          ayang, ibu yakin kamu akan menjadi orang hebat nanti. Andai ayahmu dapat melihat ini, andai ayahmu dapat memelukmu sekarang, andai ayahmu.....”
          Ucapan ibu tertahan di tenggorokannya, ia terdiam sejenak dengan tatapan kosongnya seperti biasa.
          “ ibu.....”  Aku menatap wajahnya yang kini kaku, bola matanya sudah membulat ke arah seberang , di sana sebuah keluarga utuh sedang merayakan wisuda putri mereka dengan tawa riang. Beberapa kali mereka berfoto untuk mengabadikan momen bahagia mereka. Aku tahu, bukan karena pakaian, mobil dan aksesoris mereka yang membuat ibu terpaku kaku. Ibu karena seorang laki-laki yang mereka panggil ayah yang kadang membuat ibuku begitu meratapi masa lalunya.
          Aku berusaha tegar, itu sudah biasa. Kuelus pundak ibu lalu kupeluk dia sekali lagi seakan tubuh ini tidak pernah lepas dari pelukannya.
          “sudahlah,bu” kataku pelan “ini hari bahagia untuk semua orang di sini, termasuk kita, tolong lupakan orang itu untuk sesaat.”
          Ekspresi ibuku tidak berubah, aku pun berusaha menjauhkannya dari keramaian. Kuajak ia berfoto bersama seperti keluarga bahagia tadi. Tetap kesedihan di hatinya tidak juga hilang. Keluarga itu sangatlah mengacau, sampai kami pulang pun ibuku masih murung. Duduk terpaku di kursi malasnya sambil memandangi foto pernikahannya yang separuhnya telah robek entah kemana.
          Berulang kali kuajak dia berbicara, kuceritakan tentang masa kecilku lalu tentang hal-hal lucu yang pernah kualami. Secuil senyum tipis terukir. Aku cukup lega melihatnya, setidaknya dia akan kembali bangkit dan seceria seperti biasa besok. Aku sudah sering mengalaminya berkali-kali, jika dia diam berarti selama semingu ini dia akan terus begitu, tapi senyum tipis itu sudah cukup bagiku sebagai kode bahwa dia ingin sendiri hari ini.
         
                                                ***********
          Tok tok tok
          “Assalamualaikum”  sebuah salam terdengar cukup mengagetkanku. Aku segera membukakan pintu dan menjawabnya. Tamuku hari ini adalah bambang, sahabat dekatku dari aku masuk universitas sampai sekarang lebih dari seorang sahabat.
          “kamu, mbang, ngagetin aja” ucapku basa basi.
          “huh kamu, calon suami dateng ke rumah ibu mertua dibilang ngagetin” candanya seperti biasa. Aku tertawa kecil untuk menutupi kesedihanku sekaligus agar dia tidak tersinggung. Tanpa disuruh masuk pun bambang sudah langsung masuk dan memanggil nama ibuku dengan keras seperti memanggil nama ibu kandungnya di rumah sendiri.
          “kok nggak ada jawaban? Nggak kayak biasanya” tanya bambang heran.” Padahal aku ada berita penting.”
          Tergiang dalam benakku ingin bertanya berita penting apakah itu? Tapi segera aku hanya diam. Berita itu tidak penting lagi ketika keadaan ibuku seperti ini bahkan wisudakupun sudah tidak membuatnya senang ketika mengingat laki-laki itu.
          “ibu beneran ada di rumah enggak sih? Kok sepi” tanya bambang sekali lagi. Dia mungkin sedikit kesal karena tidak direspon positif seperti biasanya.
          “Ibu tidak bisa diganggu hari ini” aku berusaha menjelaskan.” Dia sedang ingin sendiri....”
          “Ada apa? Kamu sedang bertengkar dengannya?”
          Aku menggelengkan kepala,” tidak, kami baik-baik saja. Ini semua karena laki-laki itu, ibuku terus memikirkannya sejak wisudaku kemarin.”
          Aku pun menceritakan kejadian tadi siang di wisudaku yang membuat ibuku tidak berbicara sedikitpun padaku sampai sekarang.
          “Ini semua karena laki-laki pengecut itu, dia meninggalkan kami sejak aku kecil. Dan ketika ibuku mengingatnya dia pasti akan seperti itu. Meratapi laki-laki itu, melihati fotonya. Ini harusnya menjadi hari bahagiaku sekarang tapi kenapa seperti ini? Kenapa kenangan tentang ayahku selalu membuatnya seperti itu? Kapan dia sadar, kapan dia tahu laki-laki itu yang sudah meninggalkannya, kapan ibuku bisa melupakannya?” Aku mengulap air mataku yang tanpa sadar sudah  mengalir begitu saja.
          “Laki-laki jahat itu, disaat aku membutuhkannya sebagai seorang ayah dia pergi begitu saja. sebenarnya itu bukan masalah untukku, toh tanpa ayah kami baik-baik saja. tapi  yang dilakukannya pada ibuku sungguh keterlaluan. coba lihat ibu sekarang, dia bahkan seperti tidak mengenali anaknya sendiri.” aku semakin terisak, pasti aku akan menangis ketika mengingat laki-laki itu. bahkan satupun memory tentangnya yang aku ingat.
          “Aku yakin ibumu pasti sudah sangat sabar dan tabah menghadapinya” bambang duduk mendekatiku. Dia hanya menepuk pundakku, aku tahu dia tidak mungkin berbuat lebih. kupandangi wajahnya untuk sesaat, kutarik nafasku agar bisa berbicara tapi tetap saja kini aku hanya diam, larut dalam kesedihan ibuku.
          “Banyak orang di luar sana yang tidak bisa bersabar dalam masalahnya, dia mungkin sudah masuk dunia hitam, terlarut dalam angan-angannya, bisa saja ibumu stress masuk rumah sakit jiwa atau mungkin ikut meninggalkanmu seperti ayahmu, atau bisa saja dia sudah bunuh diri karena masalah yang ditimpanya, karena rasa sakit dan benci pada ayahmu. Tapi sherin, dia tidak melakukannya. Dia tetap menyayangimu, bahkan dia rela mati-matian mencari nafkah sendiri untuk menyekolahkanmu, memberimu dukungan seorang diri. Ibumu orang hebat sherin. Dia lebih hebat dari wanita manapun.”
          Aku masih diam. Kutatap wajah bambang sesaat lalu tertunduk malu. Entah kenapa aku begitu malu, aku tidak menyadari kasih sayang ibuku selama ini, walaupun dia sekarang hanya diam dan meratapi masa lalunya yang kelam bersama ayahku tapi aku lupa bahwa dia pasti akan kembali menjadi ibuku, ibuku yang selalu tersenyum manis untukku seakan masa lalunya sudah hilang. Untuk apa dia melakukannya? Tentu untukku agar aku bisa melupakan sosok yang tidak pernah ada dalam hidupku sekaligus melupakan kebencian dalam diriku.
          “Sherin”
          aku menoleh ke belakang sedikit merasa kaget. aku tidak tahu kalau ibu sudah ada di belakangku. mungkin dia menguping pembicaraan kami. aku pun berjalan mendekatinya kupeluk erat tubuhnya.
          “Ibu baik-baik saja, kan?” bisikku padanya.
          “Iya sayang, ibu baik-baik saja. ada sesuatu yang ingin ibu katakan padamu. kukira ini sudah waktunya, sayang.”
          “Apa itu,bu katakan saja.”
          “Ini tentang ayahmu. Laki-laki yang ada di keluarga yang kita lihat tadi siang itu ayahmu.”
          mataku terbelak tajam karena kaget, marah sekaligus tidak percaya pada apa yang dikatakan ibu. aku berkali-kali menggelengkan kepalaku.” Tidak ibu, itu tidak mungkin. Dia.... ibu bilang dia sudah pergi jauh. Tidak, tidak sudah meninggal, aku yakin dia sudah meninggal.”
          “Ayahmu belum meninggal, sayang dia juga tidak pergi jauh. mungkin kita sering bertemu dengannya tanpa kita sadari, di jalan, di tempat perbelanjaan, atau di tempat-tempat umum lainnya. Dia hanya meninggalkan kita.” ibuku menoleh ke arah lain, dia tidak berani menatapku.
          “Dia hanya meninggalkan kita, waktu itu ketika aku pulang menjemputmu dari taman kanak-kanak, ayahmu sudah tidak ada. hanya selembar kertas  yang dia tinggalkan untukku. aku sangat marah waktu itu, sedih, kecewa. Orang yang sangat kucintai pergi tanpa alasan. aku tidak bisa melupakan rasa sakit yang diberikannya sampai saat ini. aku sudah berulangkali bertemu dengannya, tapi aku tidak bisa mendekatinya aku tidak bisa menanyakan kenapa dia meninggalkanku. walaupun aku ingin sekali memukulinya atau mengatakan padanya tentang anakku yang sudah dewasa, aku tetap tidak bisa mengatakannya.....”
          “Kenapa, bu? Kenapa?” tanyaku penuh emosi, kutatap mata ibuku sambil memegang erat kedua pundaknya yang tergoncang karena tangannku.” IBU KENAPA?”
          “Sherin, kamu sendiri sudah bisa menebak jawabannya bukan? dia sudah berkeluarga, dia sudah punya hidup baru.”
             
                                                            ***********
            Aku masih tidak percaya dengan apa yang ibu katakan. Kenyataan bahwa laki-laki di keluarga yang kulihat tadi siang itu ayahku masih membuatku syok. Kududukkan tubuhku di kursi, mencoba menenangkan diriku. Orang itu ayahku. Orang yang bahkan tidak kuperhatikan diantara bahagianya mereka ketika wisuda tadi siang. Dan mungkin mahasiswa yang diwisuda tadi juga saudaraku.  Bagaimana dia bisa sebahagia itu tadi siang, bagaimana dia bisa melupakan aku dan ibuku yang selalu memikirkannya. Kutatap selembar kertas yang tadi ibuku ambil dari laci lemari.  Kertas itu sudah sangat kotor dan berjamur, mungkin sering ditangisi ibuku ketika mengingat ayah. Tapi tulisan di dalamnya masih utuh. Tinta hitamnyapun belum sedikitmu memudar walaupun sudah bertahun-tahun ada di laci lemari.
            Mawar, aku pergi sebentar untukmu dan sherin. Jaga dia baik-baik yakinlah kalau aku akan pulang.
Anwar
            “Pembohong” ucapku melampiaskan emosiku pada tulisan pendek itu. Tulisan inilah yang kadang membuat ibuku  selalu terisak ketika membacanya.
          “Sudahlah, berhenti membacanya” kata bambang lalu merebut kertas itu dari tanganku.” Kamu akan semakin sedih jika membacanya.”
          “Ayolah, kenapa masih diam, bukankah ini hari bahagiamu, kamu sudah diwisuda bukan? padahal empat tahun lalu waktu aku jadi seniormu kamu bilang aku  hari bahagiaku adalah ketika aku wisuda nanti, memakai toge dan membuat orang yang paling kucintai memelukku dengan sangat bahagia.” bambang tersenyum ke arahku. Aku tahu dia berusaha menghiburku.” Jangan menangis lagi, lupakan tentang ayah kamu, ini hari bahagiamu bukan? Oh, ya untuk sarjana muda kita coba kitalihat apa yang dibawakan pangeran tersayangnya untuknya.”
          Bambang berjalan mundur beberapa langkah dariku lalu mengeluarkan sesuatu dari belakangnya. TADA...
          “Bunga” seruku terkejut dengan hadiah yang dibawanya. Sebelumnya kukira dia lupa hari ini wisudaku, ternyata dia ingat juga.
          “Bagus nggak?”
          “Bagus sekali, cantik” kataku seraya menerima bunga itu dari genggamannya.
          “Tapi lebih cantikan kamu sih. Gimana, apa kamu masih sedih sekarang?”
          Aku mencoba tersenyum.” Tidak.” aku berbohong.
          “Mau tahu kabar baik yang ingin aku katakan tadi?” Bambang  memoncongkan bibirnya seperti  moncong bebek.” Mau tahu nggak?”
          Aku mengganggukkan kepala.
          “Keluargaku akan datang melamar 3 hari lagi. Maaf aku tidak bisa menungjungi wisudamu kemarin siang aku sibuk mengurus semuanya, ibuku bilang lebih cepat lebih baik apalagi kamu sudah diwisuda sekarang.”
          “Benarkah?” tanyaku tidak percaya.
          Bambang mengangguk. Aku pun tersenyum tulus kali ini seakan semua cerita menyakitkan tentang ayahku sudah hilang. Tentu, 3 hari lagi aku akan menjalin hubungan dengan keluarga baru. Dan aku pun akan mempunyai calon ayah untuk anak-anakku nanti. Hidup baruku akan segera dimulai.
         
         


Tidak ada komentar:

Posting Komentar