Namaku Sarahfina Aura. Panggil saja Aura. Aku punya satu
orang adik perempuan yang suka dandan, juga ayah dan ibu yang selalu harmonis,
seperti keluarga pada umumnya. Aku tinggal di sebuah desa kecil yang bisa
dijangkau dengan bergabai macam kendaraan tapi jauh perkotaan. Sebagai anak
pertama aku harus menempuh pendidikanku hanya sampai SMK, lalu kulanjutkan
jenjang pendidikan berikutnya dengan bersekolah di universitas satu-satunya di
kotaku dengan uang hasil kerjaku. Aku bekerja di rumah makan dengan gaji yang
lumayan terlebih aku mendapatkan makan dan tempat tidur gratis juga dekat
dengan kampusku. Uang yang kudapatkan cukup untuk membayar sppku dengan
menyisihkan sebagian gajiku tiap bulan.
Di tempat ini aku bekerja dengan beberapa pegawai tetap
juga dengan seorang yang kupanggil Mbak Ati yang juga sekolah sambil kerja
sepertiku. Kami tinggal di tempat yang sama orangnya sangat baik dan mudah
akrab dengan siapapun. Suatu malam dia bercerita tentang taaruf padaku. Awalnya
kami hanya basa-basi saja, namun semakin dalam kami bercerita semakin membuatku
teringat tentang sosok lelaki yang kukagumi dan kuimpikan sebagai imanku di
masa depan.
Aku masih ingat ketika aku masih kecil dan dia baru lulus
SD, kudengar kabarnya bahwa ia akan dimasukkan di pondok pesantren salah satu
kota ternama di indonesia. Aku tidak begitu peduli waktu itu, tapi semakin
bertambahnya usiaku aku mulai mengaguminya, mengagumi sifatnya yang suka menolong
orang lain,rajin ke masjid, juga orangnya yang ramah. Kami sering berpapasan ketika berjalan, entah
dia mau ke masjid atau aku yang ada keperluan ke tempat saudara. Hatiku terasa
sangat sesak ketika mengingatnya. Aku merasa belum sempurna, aku juga tidak
pantas untuknya. Kenapa dia, kenapa harus dia? Ya Tuhan kenapa wajah orang itu
yang terlintas dalam benakku?
“Dhek, dhek.... Kok nglamun”
Aku segera tersadar dari segala fikiranku tentangnya.
“Enggak kok, Mbak, tadi mbak ngomong apa? Maaf mbak kayaknya
aku lagi sulit nyambung nih.”
“Ada yang ngajak mbak taaruffan.”
“Siapa, Mbak?”
“Namanya Amirruddin, mbak sih belum pernah lihat orangnya
tapi katanya dia pernah bertemu denganku.”
“Mbak udah yakin?” Kataku balik bertanya.
“Insyaallah kalau dia yang Allah berikan untuk jadi jodoh
Mbak siap menerimanya.”
Aku
pun ikut senang dengan cerita yang Mbak Atik katakan padaku. Aku berharap Tuhan
akan segera menunjukkan seorang juga yang akan menemaniku nanti. Semoga saja
orang itu adalah lelaki impianku yang sudah melekat dalam ingatanku begitu
lama.
Keesokan harinya aku mendapatkan pengumuman dari dosenku
bahwa aku akan melaksanakan PPL karena aku sudah semester enam sekarang. Aku izin
kepada pemilik rumah makan untuk tidak bekerja selama aku PPL. Aku mendapat
tempat PPL di salah satu SMP yang dekat dengan rumah orang tuaku, aku kembali
tinggal di desaku selama tiga bulan ke depan.
Di sini aku jadi sering bertemu Arkan, nama lelaki
impianku. Aku juga sering berpapasan kembali dengannya, dia hanya melihatku
sesaat seperti bertemu orang pada umumnya lalu dengan cepat menundukkan kepala.
Aku berusaha menahan perasaanku yang terasa sakit. Apakah aku pantas dengannya? Apakah aku pantas bersanding dengannya,
aku hanya orang biasa, aku tidak begitu mengagumkan dariku, tidak ada dariku
yang akan membuatnya tertarik.
Kutarik nafasku dalam-dalam dan segera mempercepat
jalanku.” Sudahlah, jika dia jodohku, Tuhan pasti akan membawakannya nanti
untukku” bisikku dalam hati.
Aku cukup senang menjadi guru sementara selama PPL di
SMP. Sekalian mengawasi adikku yang kebetulan juga sekolah di sana. Setiap paginya
kulewati rumahnya, dengan wajah yang pura-pura tidak peduli aku pun berusaha
menyembunyikan naluriku untuk selalu ingin bertemu dengannya.
“Assalamualaikum” suara seorang pria mengucapkan salam
memasuki rumahku. Aku pun buru-buru memakai jilbabku dan menyambut tamu yang
datang. Ternyata itu Arkan dan seorang lagi yang kutebak dia adalah teman
dekatnya. Hatiku terasa berdekup kencang. Arkan ada di sini, sejak kapan dia
mau datang ke rumahku? Pertanyaan demi pertanyaan kembali datang dalam
fikiranku, aku berusaha tersenyum dan positif thinking. Dengan ramah Arkan dan
temannya pun menyampaikan maksudnya. Mereka memintaku untuk menjadi panitia
acara pengajian di desaku.
Aku pun menyanggupinya. Kami tidak banyak bicara dan
basa-basi seperti pembicaraan dengan orang pada umumnya. Acaranya seminggu
lagi, kebetulan tanggung jawabku tidak terlalu banyak dan tidak berbenturan
dengan jadwal PPL-ku. Aku jadi sering bertemu dengannya untuk apalagi kecuali
mempersiapkan acara.
“Nanti untuk undangan dan catering kamu aja yang
mengurusnya bersama Rehan, Aura” kata Arkan yang membuat hatiku sedikit kecewa
dibuatnya. Memang aku ikhlas menjadi panitia persiapan acara tapi entah kenapa
setengah dari keikhlasanku adalah alasan untukku agar bisa bersama dengan
Arkan.
Hari sabtu pagi sesuai dengan janji kami untuk
mengerjakan tugas kami sebagai panitia, dia pun datang ke rumahku.
“Jadi undangan acara bagusnya mau buat sendiri atau beli
undangan yang sudah jadi seperti di toko-toko?” Tanyaku pada Rehan.
“Menurut kamu bagaimana?” Baliknya bertanya.
“Kalau acara resmi bagusnya buat sendiri aja, sekalian
aja ada kop surat desa kita biar lebih formal. Aku bisa mengerjakannya, dulu
aku mengambil jurusan sekretaris di SMK, mudah untukku membuatnya.”
“Baiklah, itu bagus dan bagaimana dengan Cateringnya?” Tanyanya.
“Bagaimana
ya?” Ucapku sambil berfikir sejenak.” Apa kamu punya kenalan yang bisa
dipercaya?” Akupun balik bertanya.
Dia nampak terdiam sejenak lalu menggerak-gerakkan pensil
yang sedari tadi dipegangnya.” Ya, seseorang, itu bisa diatur.” Katanya sambil
tersenyum ke arahku “bagaimana kalau kita buat saja undangannya terlebih
dahulu.
Aku pun menganggukkan kepala sebagai tanda setuju. Kami segera
membuat surat undangan lalu menuliskan satu persatu tamu yang akan diundang.
Jam duabelas kami sudah selesai dan mencetaknya.
Tidak terasa suara azan sudah terdengar, Rehan pun segera pamit untuk solat
berjamaah di masjid. Aku pun ikut juga ke
Masjid, tapi kutunggu
dia lebih jauh, nanti kalau jalan bareng takut orang yang mengira kami
tidak-tidak. Sampai di depan masjid kulihat seorang pria yang tidak asing sama
sekali untukku sedang duduk membaca Al-Quran di pojok masjid. Rasanya sangat damai sekali ketika
mendengar satu-persatu ayatnya dibaca dengan merdu.
“Aura, apa kabar?” Tanya sebuah suara dari belakangku.
“Mbak Atik!” Jawabku sedikit terkejut.” Baik Mbak,
Alhamdulillah. Mbak Atik kok bisa sampai di sini sih?”
“Ini lagi ada acara silaturahmi” jawabnya singkat.
“Oh acara silaturahmi, kok mau ke sini nggak
bilang-bilang sih, ayo mampir dulu ke rumahku.”
“Iya tenang aja nanti Mbak ke rumah kamu. Tapi setelah
solat dzuhur dulu.” Kata Mbak Atik lalu menarikku untuk masuk masjid. Untung
saja yang kuajak bicara orang yang rajin solat, kalau bukan tentu saja aku
tidak jadi solat berjamaah hari ini karena terlalu asyik ngoborol juga karena
aku sedikit pelupa.
“Mbak kok jarang sms, BBM, atau ngasih kabar gitu, kenapa
sih Mbak?” Tanyaku selesai pulang dari masjid.
“Mbak lagi buat skripsi.”
“Lagi buat Skripsi!” Kataku kembali terkejut “beneran,
Mbak, jadi bentar lagi wisuda donk.”
“Insyaallah, doain aja sukses.”
“Amin” ucapku ikut mendoakan Mbak Atik.
Pertemuanku dengan Mbak Atik cukup menyenangkan. Mbak
Atik menceritakan rencananya setelah wisuda yang katanya akan segera menikah,
dan aku sedikit bercerita tentang orang yang kusuka. Tapi tidak secara langsung
menjerumus pada Arkan , takutnya jadi masalah baru nantinya.
Keesokan harinya aku kembali bersama Rehan untuk mencari
tempat katering, rencanya kami akan mensurvey terlebih dahulu. Kami berangkat
menggunakan mobil miliknya. Sedikit canggung rasanya semobil berdua dengan
orang yang baru kukenal. Apalagi kami lebih banyak diam.
“Jadi sudah berapa lama kamu berada di sini?” Tanyaku berusaha
mencari topik pembicaraan.
“Kira-kira tiga tahun ini.” Jawabnya singkat.
“Tiga tahun, jadi sudah punya rumah donk di sini?”
“Tidak, aku menumpang di rumah Arkan.”
“Oh, kamu saudaranya atau....”
“Teman, dulu waktu di Jawa Timur. Kami akrab, dan
memutuskan untuk berwirausaha di sini sekalian menyebarkan ilmu.”
Hatiku mulai terasa kembali berdebar ketika mendengar
nama Arkan. Aku pun mulai bersemagat mencari tahu bagaimana kehidupannya di
pondok pesantren.
“Kamu sama Arkan dulu di sana gimana? Pasti seneng ya
pernah tinggal di pondok pesantren ternama.”
“Ada senengnya ya ada enggak juga ada.”
Rehan tersenyum ke arahku. Dia lalu menceritakan
kehidupannya di sana bersama Arkan dan teman-teman lainnya. Dia juga
menceritakan bagaimana pertemanannya bersama Arkan yang terjalin begitu erat.
Setelah mencari ke sana-kemari akhirnya kami menemukan
tempat yang tepat. Beberapa hari kemudian pengajian pun dilaksanakan sesuai
rencana, semuanya sukses. Dan sejak saat itu aku dan Arkan kembali seperti
dulu, hanya bertemu waktu berpapasan saja atau ketika sedang solat di masjid. Setelah
masa pplku habis aku kembali bekerja, dan menyelesaikan semua tugas dari
dosenku. Aku pun harus rela kembali sama sekali tidak bertemu dengan Arkan, Ya
Tuhan jika dia memang ditakdirkan untukku pertemukanlah kami dalam sebuah
ikatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar