Minggu, 30 Oktober 2016

Lelaki impian



            Namaku Sarahfina Aura. Panggil saja Aura. Aku punya satu orang adik perempuan yang suka dandan, juga ayah dan ibu yang selalu harmonis, seperti keluarga pada umumnya. Aku tinggal di sebuah desa kecil yang bisa dijangkau dengan bergabai macam kendaraan tapi jauh perkotaan. Sebagai anak pertama aku harus menempuh pendidikanku hanya sampai SMK, lalu kulanjutkan jenjang pendidikan berikutnya dengan bersekolah di universitas satu-satunya di kotaku dengan uang hasil kerjaku. Aku bekerja di rumah makan dengan gaji yang lumayan terlebih aku mendapatkan makan dan tempat tidur gratis juga dekat dengan kampusku. Uang yang kudapatkan cukup untuk membayar sppku dengan menyisihkan sebagian gajiku tiap bulan.
            Di tempat ini aku bekerja dengan beberapa pegawai tetap juga dengan seorang yang kupanggil Mbak Ati yang juga sekolah sambil kerja sepertiku. Kami tinggal di tempat yang sama orangnya sangat baik dan mudah akrab dengan siapapun. Suatu malam dia bercerita tentang taaruf padaku. Awalnya kami hanya basa-basi saja, namun semakin dalam kami bercerita semakin membuatku teringat tentang sosok lelaki yang kukagumi dan kuimpikan sebagai imanku di masa depan.
            Aku masih ingat ketika aku masih kecil dan dia baru lulus SD, kudengar kabarnya bahwa ia akan dimasukkan di pondok pesantren salah satu kota ternama di indonesia. Aku tidak begitu peduli waktu itu, tapi semakin bertambahnya usiaku aku mulai mengaguminya, mengagumi sifatnya yang suka menolong orang lain,rajin ke masjid, juga orangnya yang ramah.  Kami sering berpapasan ketika berjalan, entah dia mau ke masjid atau aku yang ada keperluan ke tempat saudara. Hatiku terasa sangat sesak ketika mengingatnya. Aku merasa belum sempurna, aku juga tidak pantas untuknya. Kenapa dia, kenapa harus dia? Ya Tuhan kenapa wajah orang itu yang terlintas dalam benakku?
            “Dhek, dhek.... Kok nglamun”
            Aku segera tersadar dari segala fikiranku tentangnya.
            “Enggak kok, Mbak, tadi mbak ngomong apa? Maaf mbak kayaknya aku lagi sulit nyambung nih.”
            “Ada yang ngajak mbak taaruffan.”
            “Siapa, Mbak?”
            “Namanya Amirruddin, mbak sih belum pernah lihat orangnya tapi katanya dia pernah bertemu denganku.”
            “Mbak udah yakin?” Kataku balik bertanya.
            “Insyaallah kalau dia yang Allah berikan untuk jadi jodoh Mbak siap menerimanya.”
            Aku pun ikut senang dengan cerita yang Mbak Atik katakan padaku. Aku berharap Tuhan akan segera menunjukkan seorang juga yang akan menemaniku nanti. Semoga saja orang itu adalah lelaki impianku yang sudah melekat dalam ingatanku begitu lama.
            Keesokan harinya aku mendapatkan pengumuman dari dosenku bahwa aku akan melaksanakan PPL karena aku sudah semester enam sekarang. Aku izin kepada pemilik rumah makan untuk tidak bekerja selama aku PPL. Aku mendapat tempat PPL di salah satu SMP yang dekat dengan rumah orang tuaku, aku kembali tinggal di desaku selama tiga bulan ke depan.
            Di sini aku jadi sering bertemu Arkan, nama lelaki impianku. Aku juga sering berpapasan kembali dengannya, dia hanya melihatku sesaat seperti bertemu orang pada umumnya lalu dengan cepat menundukkan kepala. Aku berusaha menahan perasaanku yang terasa sakit. Apakah aku pantas dengannya? Apakah aku pantas bersanding dengannya, aku hanya orang biasa, aku tidak begitu mengagumkan dariku, tidak ada dariku yang akan membuatnya tertarik.
            Kutarik nafasku dalam-dalam dan segera mempercepat jalanku.” Sudahlah, jika dia jodohku, Tuhan pasti akan membawakannya nanti untukku” bisikku dalam hati.
            Aku cukup senang menjadi guru sementara selama PPL di SMP. Sekalian mengawasi adikku yang kebetulan juga sekolah di sana. Setiap paginya kulewati rumahnya, dengan wajah yang pura-pura tidak peduli aku pun berusaha menyembunyikan naluriku untuk selalu ingin bertemu dengannya.
            “Assalamualaikum” suara seorang pria mengucapkan salam memasuki rumahku. Aku pun buru-buru memakai jilbabku dan menyambut tamu yang datang. Ternyata itu Arkan dan seorang lagi yang kutebak dia adalah teman dekatnya. Hatiku terasa berdekup kencang. Arkan ada di sini, sejak kapan dia mau datang ke rumahku? Pertanyaan demi pertanyaan kembali datang dalam fikiranku, aku berusaha tersenyum dan positif thinking. Dengan ramah Arkan dan temannya pun menyampaikan maksudnya. Mereka memintaku untuk menjadi panitia acara pengajian di desaku.
            Aku pun menyanggupinya. Kami tidak banyak bicara dan basa-basi seperti pembicaraan dengan orang pada umumnya. Acaranya seminggu lagi, kebetulan tanggung jawabku tidak terlalu banyak dan tidak berbenturan dengan jadwal PPL-ku. Aku jadi sering bertemu dengannya untuk apalagi kecuali mempersiapkan acara.
            “Nanti untuk undangan dan catering kamu aja yang mengurusnya bersama Rehan, Aura” kata Arkan yang membuat hatiku sedikit kecewa dibuatnya. Memang aku ikhlas menjadi panitia persiapan acara tapi entah kenapa setengah dari keikhlasanku adalah alasan untukku agar bisa bersama dengan Arkan.
            Hari sabtu pagi sesuai dengan janji kami untuk mengerjakan tugas kami sebagai panitia, dia pun datang ke rumahku.
            “Jadi undangan acara bagusnya mau buat sendiri atau beli undangan yang sudah jadi seperti di toko-toko?” Tanyaku pada Rehan.
            “Menurut kamu bagaimana?” Baliknya bertanya.
            “Kalau acara resmi bagusnya buat sendiri aja, sekalian aja ada kop surat desa kita biar lebih formal. Aku bisa mengerjakannya, dulu aku mengambil jurusan sekretaris di SMK, mudah untukku membuatnya.”
            “Baiklah, itu bagus dan bagaimana dengan Cateringnya?” Tanyanya.
            “Bagaimana ya?” Ucapku sambil berfikir sejenak.” Apa kamu punya kenalan yang bisa dipercaya?” Akupun balik bertanya.
            Dia nampak terdiam sejenak lalu menggerak-gerakkan pensil yang sedari tadi dipegangnya.” Ya, seseorang, itu bisa diatur.” Katanya sambil tersenyum ke arahku “bagaimana kalau kita buat saja undangannya terlebih dahulu.
            Aku pun menganggukkan kepala sebagai tanda setuju. Kami segera membuat surat undangan lalu menuliskan satu persatu tamu yang akan diundang. Jam duabelas kami  sudah selesai dan mencetaknya. Tidak terasa suara azan sudah terdengar, Rehan pun segera pamit untuk solat berjamaah di masjid. Aku pun ikut juga ke


Masjid, tapi kutunggu dia lebih jauh, nanti kalau jalan bareng takut orang yang mengira kami tidak-tidak. Sampai di depan masjid kulihat seorang pria yang tidak asing sama sekali untukku sedang duduk membaca Al-Quran di pojok  masjid. Rasanya sangat damai sekali ketika mendengar satu-persatu ayatnya dibaca dengan merdu.
            “Aura, apa kabar?” Tanya sebuah suara dari belakangku.
            “Mbak Atik!” Jawabku sedikit terkejut.” Baik Mbak, Alhamdulillah. Mbak Atik kok bisa sampai di sini sih?”
            “Ini lagi ada acara silaturahmi” jawabnya singkat.
            “Oh acara silaturahmi, kok mau ke sini nggak bilang-bilang sih, ayo mampir dulu ke rumahku.”
            “Iya tenang aja nanti Mbak ke rumah kamu. Tapi setelah solat dzuhur dulu.” Kata Mbak Atik lalu menarikku untuk masuk masjid. Untung saja yang kuajak bicara orang yang rajin solat, kalau bukan tentu saja aku tidak jadi solat berjamaah hari ini karena terlalu asyik ngoborol juga karena aku sedikit pelupa.
            “Mbak kok jarang sms, BBM, atau ngasih kabar gitu, kenapa sih Mbak?” Tanyaku selesai pulang dari masjid.
            “Mbak lagi buat skripsi.”
            “Lagi buat Skripsi!” Kataku kembali terkejut “beneran, Mbak, jadi bentar lagi wisuda donk.”
            “Insyaallah, doain aja sukses.”
            “Amin” ucapku ikut mendoakan Mbak Atik.
            Pertemuanku dengan Mbak Atik cukup menyenangkan. Mbak Atik menceritakan rencananya setelah wisuda yang katanya akan segera menikah, dan aku sedikit bercerita tentang orang yang kusuka. Tapi tidak secara langsung menjerumus pada Arkan , takutnya jadi masalah baru nantinya.
            Keesokan harinya aku kembali bersama Rehan untuk mencari tempat katering, rencanya kami akan mensurvey terlebih dahulu. Kami berangkat menggunakan mobil miliknya. Sedikit canggung rasanya semobil berdua dengan orang yang baru kukenal. Apalagi kami lebih banyak diam.
            “Jadi sudah berapa lama kamu berada di sini?” Tanyaku berusaha mencari topik pembicaraan.
            “Kira-kira tiga tahun ini.” Jawabnya singkat.
            “Tiga tahun, jadi sudah punya rumah donk di sini?”
            “Tidak, aku menumpang di rumah Arkan.”
            “Oh, kamu saudaranya atau....”
            “Teman, dulu waktu di Jawa Timur. Kami akrab, dan memutuskan untuk berwirausaha di sini sekalian menyebarkan ilmu.”
            Hatiku mulai terasa kembali berdebar ketika mendengar nama Arkan. Aku pun mulai bersemagat mencari tahu bagaimana kehidupannya di pondok pesantren.
            “Kamu sama Arkan dulu di sana gimana? Pasti seneng ya pernah tinggal di pondok pesantren ternama.”
 “Ada senengnya ya ada enggak juga ada.”
            Rehan tersenyum ke arahku. Dia lalu menceritakan kehidupannya di sana bersama Arkan dan teman-teman lainnya. Dia juga menceritakan bagaimana pertemanannya bersama Arkan yang terjalin begitu erat.

            Setelah mencari ke sana-kemari akhirnya kami menemukan tempat yang tepat. Beberapa hari kemudian pengajian pun dilaksanakan sesuai rencana, semuanya sukses. Dan sejak saat itu aku dan Arkan kembali seperti dulu, hanya bertemu waktu berpapasan saja atau ketika sedang solat di masjid. Setelah masa pplku habis aku kembali bekerja, dan menyelesaikan semua tugas dari dosenku. Aku pun harus rela kembali sama sekali tidak bertemu dengan Arkan, Ya Tuhan jika dia memang ditakdirkan untukku pertemukanlah kami dalam sebuah ikatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar