***************
Tit....tit....titttttttt
Suara hpku berbunyi segera kusambar dan kujawab
panggilannya.
“Halo Assalamualaikum.” Suara Mbak Atik terdengar begitu
riangnya.
“Waalaikumsalam” jawabku.” Mbak Atik apa kabar? Udah tiga
bulan nih nggak kedengeran kabarnya, katanya lagi buat Skripsi kok belum
selesai-selesai sih.”
“Alhamdulillah, aku udah sidang, Dhek. Kamu jangan lupa
datang ke acara wisudaku ya, awas kalau sampai kamu nggak ikut, kuabrak-abrik
nanti rumahmu sampai kamu mau ikut.”Canda Mbak Atik di telephon.
“Iya....iya dech, pasti aku datang apa sih yang enggak buat
Mbak Atikku tersayang....” Balasku dengan candaan juga.
*************
Aku kembali merasa semangat untuk kembali menempuh
pendidikanku sambil bekerja. Hari-hariku
kembali kulalui seperti biasa, sabtu minggu pergi ke kampus sepulangnya bekerja
kembali seperti hari biasanya. Kudengar kios di sebelahku sudah menjadi toko
makanan khas, hal yang mengejutkan untukku bahwa pemiliknya adalah Arkan dan
Rehan.
Mungkin kehidupanku kembali seperti biasa lagi seperti di
desaku ketika aku kembali lebih sering bertemu dengan Arkan. Tapi rasa ini
masih sama. Dan mataku tidak bisa berhenti menatapnya lebih lama jika aku
bertemu dengannya.
Ada apa denganku? Kenapa seperti ini? Kenapa aku begitu
pengecut?
***************
Keberanianku muncul ketika aku melihatnya keluar dari
masjid setelah dia solat Dhuha. Apapun jawabannya aku akan siap menerimanya. Aku
sudah tidak bisa lagi seperti ini. Aku sudah capek menjadi orang yang selalu
menatapnya dari kejauhan, selalu berusaha menyembunyikan perasaanku.
Kulahkahkan kakiku mendekatinya, berharap aku ada jawaban yang selama ini
kuinginkan.
Semakin dekat.... Dan semakin dekat lagi....
“Aura!” Suara laki-laki memanggilku dari belakang.
Aku menoleh, itu Rehan ternyata.
“Aku pesan nasi dengan daging ayam seperti biasa,” dia
memegangi perutnya lalu tertawa kecil.” Tolong cepat ya, perutku sudah lapar.”
Aku menganggukkan kepalaku dengan tubuh kaku. Rencanaku
hancur hari ini, keberanianku hilang seketika. Rehan.... Kenapa kamu lakukan ini
padaku? Kenapa? Padahal selangkah lagi aku bisa mengatakan isi hatiku,
selangkah lagi.
***************
Seperti rencanaku sebelumnya aku ikut dalam Wisuda Mbak
Atik dari awal acara sampai selesai. Pidato demi pidato satu persatu mahasiswa
kudengarkan, termasuk juga pidatonya Mbak Atik. Selesai acara aku dan keluarga
Mbak Atik berfoto bersama. Kulihat banyak mahasiswa lain yang melemparkan topi
wisudanya, mengenakan jubah wisudanya yang membuat mereka terlihat sangat
gagah. Kapan aku bisa seperti itu?
***************
Hari pernikahan Mbak Atik sudah ditentukan. Aku sudah
seperti adiknya sendiri jadi tidak perlu undangan dan bebas ikut terlibat dalam
acara pernikahannya. Dari desain baju
yang dikenakan, tata ruang sampai jadi spikolog dadakan pun menjadi pekerjaanku
selama persiapan pernikahannya.
“Tenang mbak, jangan gugup, si cantik kan
Ada di sini” candaku sambil
memegangi tangan Mbak Atik yang sudah gemetaran.
Mbak Atik hanya tersenyum tipis.
Tit....tit....titttttttt
Sebuah panggilan masuk ke hpku. Aku segera menepi dari Mbak
Atik dan buru-buru menjawab telephon.
“Mbak, Mbak Aura tengok ke belakang dech” kata suara di
balik telephon, dasar adikku ada-ada saja. Aku mendongakkan kepalaku ke belakang.
Ternyata adikku ada di sana, sedang melambaikan tangan ke arahku. Aku segera
mendekatinya.
“Ngapain kamu ke sini? Pake apa ini? Kamu mau jadi
selundupan di sini ya pake ginian, dandanannya menor banget lagi.” Komentarku
pada make up tebal dan kebaya yang
dikenakannya.
“Mbak
ini gimana sih, kan kemarin aku bilang aku bakalan jadi pagar ayu”
“Pagar ayu? Siapa yang nikah?”
“Itu” tunjuk adikku pada seorang pria yang sedang duduk di
bangku pengantin.
“Ar... Arkan....” Ucapku terbata-bata.
Aku berusaha menahan tubuhku agar tidak goyang. Ya Tuhan,
itu benar Arkan, jadi yang sekarang menjadi suami Mbak Atik adalah Arkan.
Lelaki impianku yang sudah bertahun-tahun kukagumi.
“Mbak.... Mbak kenapa?” Tanya Santi yang sudah memegangi
tanganku dengan kuat.
“Engg...Enggak, kamu ke sana aja dulu nanti kamu dicari
rombongan.”
Kulihat wajah bingung adikku mendengar ucapanku, tapi dia
hanya menurut saja. Aku pun kembali pada Mbak Atik. Kutatap wajahnya
lekat-lekat, akad nikah sudah dibacakan. Lelaki impianku sudah dimiliki wanita
lain, wanita yang sudah kuanggap seperti kakakku sendiri. Hatiku sudah sangat
perih, remuk semua seakan semuanya sudah runtuh tidak ada harapan. Apa yang
harus kulakukan sekarang? Pertanyaan itu ada dalam hatiku. Aku berusaha menyembunyikan kesedihanku,
kupapah Mbak Atik menuju ke tempat duduknya di samping Arkan. Tapi aku tidak
bisa bersandiwara terlalu lama.
Kulangkahkan kaki menjauhi keramaian. Air mataku sudah
mengalir begitu saja.” Apa yang harus kulakukan?” Isakku sambil beberapa kali
menghapus air mataku. Jadi orang yang taaruffan dengan Mbak Atik adalah Arkan,
Arkan Amirruddin. Kenapa aku tidak menyadarinya sedari dulu sejak pertemuanku
dengan Mbak Atik di desa waktu itu? Kenapa? Kenapa aku punya begitu banyak
harapan yang kini sudah pupus?
“Ini, kayaknya kamu butuh ini sekarang” Ucap Rehan yang
tidak kusadari sudah ada di dekatku dan mengulurkan kotak tissue padaku.
“Apaan ach” ucapku sedikit sinis.
“Kamu suka ya sama Arkan?”
“Tidak” ucapku berbohong.
“Jawab saja dengan jujur, daripada hatimu semakin sakit.”
Aku tidak merespon. Aku tidak mengambil tissue yang
diulurkannya padaku. Kutahan sebaik mungkin air mataku agar tidak jatuh, tapi
sial, tetap saja aku wanita lemah apalagi yang bisa kulakukan selain
mengungkapkan emosiku dengan menangis.
“Arkan sudang taaruffan dengan Eka Atika kira-kira setahun
yang lalu, dan dia melamarnya beberapa bulan yang lalu.”
“Tidak apa-apa kok, aku ikhlas, mungkin bukan jodohku
saja.” Jawabku sambil menarik selembar tissue dari genggamannya. Kuulap air
mataku dan berusaha membenarkan kembali riasan make upku. Aku sudah tidak bisa
berbuat apapun sekarang. Aku tidak mungkin menjadi orang jahat yang akan menghancurkan pernikahan orang yang
sudah seperti kakakku sendiri, aku juga tidak mungkin memutar kembali waktu
agar bisa mengungkapkan rasa di hatiku padanya bahkan jauh sebelum setahun
lalu. Ini sudah takdir, takdir yang Allah SWT berikan padaku.
***************
Tidak terasa aku sudah mendapat gelar Sarjanaku, dan tiga
tahun ini aku sudah tidak bekerja lagi. Sejak wisudaku, kuputuskan untuk pindah
ke luar kota. Aku tidak mendapatkan pekerjaan selayaknya jurusan yang kuambil
di universitas, kini aku lebih sibuk menulis, beberapa novelku sudah laku di
pasaran. Alhamdulillah, novel ketigaku best seller sekarang. Hubunganku dengan Mbak Atik juga masih
baik-baik saja. Aku pun punya kesibukan tersendiri sebagai penulis sekarang.
Entah kenapa walaupun aku perlahan-lahan mulai melupakan Arkan, tapi rasa
sakitku belum juga hilang.
“Halo Assalamualaikum Mbak Atik apa kabar?” Sapaku ketika
mendapat panggilan darinya.
“Halo Waalaikumsalam, Aura, kamu ini kemana aja sih! Kayak aku
nikah sama orang yang kamu suka aja sejak pernikahanku itu kamu ngilang kayak
ditelan bumi sebenarnya kamu itu di mana sih! Aku khawatir nih nggak pernah
denger kabar dari kamu.”
Aku pun tersenyum mendengar candaan Mbak Atik. Emang itu
bener Mbak, ungkapku dalam hati.
“Enggak
kok mbak, Cuma lagi pengen fokus sama cita-cita masa kecil.”
“Emang apa hubungannya cita-cita sama kamu pindah sekarang?
Kamu..........” Ucapan Mbak Atik terpotong dan kudengar samar-samar dia sedang
berbicara dengan orang lain.” Halo, Aura, ini ada Rehan, katanya pengen ngomong
sama kamu.”
Dug, hatiku berdetak. Untuk apa Rehan mau bicara padaku?
“Halo assalamualaikum, Aura.”
“Waalaikumsalam Rehan,” jawabku ramah.
“Apa kamu baik-baik saja sekarang?”
“Iya, tentu.”
“Kenapa
kamu pindah ke Semarang?” Tanyanya dari balik telephon.
“Aku
ingin mencari pengalaman, bosan aku di kota kelahiran terus.” Jawabku mencari
alasan.
“Apa
ini karena.....”
Ucapan
Rehan segera terhenti, aku tahu apa yang akan dia katakan.
“Apa
kamu masih menyukainya?” Lanjutnya kembali bertanya.
“Tidak.”
“Jawab
dengan jujur!”
“Tidak,
aku sudah sangat jujur, TIDAK!”
“Oooh”
“Rehan.”
“Ya”
“Terimakasih
untuk waktu itu, kamu sudah menolongku.” Ungkapku berusaha berterimakasih
padanya karena telah menjauhkanku dari Arkan ketika aku berusaha mengungkapkan
isi hatiku waktu itu.
“Apaan,
oh ya kamu sabtu besok bisa nggak pulang ke rumah orang tua kamu?”
“Kenapa?”
“Ya,
Sabtu besok bisa nggak?”
“Insyaallah
bisa.”
“Jangan
hanya insyaallah, jawab yang bener bisa nggak?”
“Iya,
aku akan pulang besok sabtu.”
Jawabku
sedikit kesal karena terus dipaksa. Hari jumatnya pun aku segera menyiapkan
segalanya untuk pulang kampung. Agar tidak terlambat datang untuk menepati
ucapanku pada Rehan. Ibuku cukup senang aku pulang ke rumah, kuberikan juga
beberapa novel buatanku pada adikku. Sampai hari sabtu datang pun aku masih
penasaran kenapa Rehan menyuruhku pulang? Lalu kenapa kemarin bertanya kepadaku
apa aku masih suka dengan Arkan atau tidak?
“Aura,
sayang ibu mau berbicara sebentar padamu.”
“Iya, bu, ada apa?”
“Kamu tahu orang yang tinggal di rumahnya Arkan? Itu yang
namanya Rehan, hari ini dia melamar kamu, nak. Jadi apa jawabanmu sekarang?”
Dug...dug....dug....
Hatiku
berdetak keras. Perasaan lain muncul dalam diriku bersamaan rasa kagetku.
Inikah jawaban kenapa dia menyuruhku untuk pulang hari sabtu? Dia ingin
melamarku.
“Itu....
Ibu bolehkah aku bertemu dengannya dulu? Bolehkah kami membicarakan ini
terlebih dahulu?” Tanyaku agar aku tidak gegabah dalam mengambil keputusan.
Ibuku mengangguk, segera Rehan datang menemuiku.
“kenapa
begitu mendadak? Kenapa kamu langsung melamarku, bukankah kita bisa taaruffan
terlebih dahulu? Kamu benar-benar membuatku bingung sekarang.”
“Aura,
dengarkan aku terlebih dahulu, aku sudah menyukaimu sejak pertama aku datang ke
rumahmu bersama Arkan waktu itu, kamu ingat? Waktu kita membutuhkanmu sebagai
panitia pengajian, lambat laun aku mulai menyadari bahwa kamu menyukai Arkan,
dari caramu memandangnya, berbicara dengannya dan puncaknya pada hari setelah
dia selesai solat duha, aku ingin mengatakan padamu bahwa dia sudah menghitbah
orang lain, tapi aku takut membuatmu kecewa.”
“Aku
tahu aku tidak bisa seperti Arkan, entah apa yang membuatmu kagum darinya. Tapi
kumohon, dengan apa adanya diriku, kuharap kamu mau menerimaku menjadi imammu
nanti.” Lanjut Rehan sembali menundukkan kepalanya.
Aku
berusaha mengambil keputusan terbaikku. Kuingat waktu-waktuku bersamanya dengan
orang yang tidak kusangka dia akan begitu mencintaiku. Lelaki impianku yang
sudah lama kuimpikan sekarang sudah menjadi milik orang lain. Justru orang
lainlah yang tidak kusangka akan melamarku hari ini, mengungkapkan bagaimana
isi hatinya sebelum aku yang mengungkapkannya. Aku pun mengangguk tanda setuju,
ini keputusanku. Aku menerimanya menjadi imamku nanti. Dialah yang mungkin
telah rencanakan untukku. Jodohku yang tidak kusangka akan datang dengan
sendirinya tanpa kuharapkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar