Minggu, 30 Oktober 2016

Lelaki Impian Part2

                                      *************** 
          Tit....tit....titttttttt
          Suara hpku berbunyi segera kusambar dan kujawab panggilannya.
          “Halo Assalamualaikum.” Suara Mbak Atik terdengar begitu riangnya.
          “Waalaikumsalam” jawabku.” Mbak Atik apa kabar? Udah tiga bulan nih nggak kedengeran kabarnya, katanya lagi buat Skripsi kok belum selesai-selesai sih.”  
          “Alhamdulillah, aku udah sidang, Dhek. Kamu jangan lupa datang ke acara wisudaku ya, awas kalau sampai kamu nggak ikut, kuabrak-abrik nanti rumahmu sampai kamu mau ikut.”Canda Mbak Atik di telephon.
          “Iya....iya dech, pasti aku datang apa sih yang enggak buat Mbak Atikku tersayang....” Balasku dengan candaan juga.
                  
                                                *************
          Aku kembali merasa semangat untuk kembali menempuh pendidikanku sambil bekerja.  Hari-hariku kembali kulalui seperti biasa, sabtu minggu pergi ke kampus sepulangnya bekerja kembali seperti hari biasanya. Kudengar kios di sebelahku sudah menjadi toko makanan khas, hal yang mengejutkan untukku bahwa pemiliknya adalah Arkan dan Rehan.
          Mungkin kehidupanku kembali seperti biasa lagi seperti di desaku ketika aku kembali lebih sering bertemu dengan Arkan. Tapi rasa ini masih sama. Dan mataku tidak bisa berhenti menatapnya lebih lama jika aku bertemu dengannya.
          Ada apa denganku? Kenapa seperti ini? Kenapa aku begitu pengecut?

                             *************** 
          Keberanianku muncul ketika aku melihatnya keluar dari masjid setelah dia solat Dhuha. Apapun jawabannya aku akan siap menerimanya. Aku sudah tidak bisa lagi seperti ini. Aku sudah capek menjadi orang yang selalu menatapnya dari kejauhan, selalu berusaha menyembunyikan perasaanku. Kulahkahkan kakiku mendekatinya, berharap aku ada jawaban yang selama ini kuinginkan.
          Semakin dekat.... Dan semakin dekat lagi....
          “Aura!” Suara laki-laki memanggilku dari belakang.
          Aku menoleh, itu Rehan ternyata.
          “Aku pesan nasi dengan daging ayam seperti biasa,” dia memegangi perutnya lalu tertawa kecil.” Tolong cepat ya, perutku sudah lapar.”
          Aku menganggukkan kepalaku dengan tubuh kaku. Rencanaku hancur hari ini, keberanianku hilang seketika. Rehan.... Kenapa kamu lakukan ini padaku? Kenapa? Padahal selangkah lagi aku bisa mengatakan isi hatiku, selangkah lagi.

                                      *************** 
         
          Seperti rencanaku sebelumnya aku ikut dalam Wisuda Mbak Atik dari awal acara sampai selesai. Pidato demi pidato satu persatu mahasiswa kudengarkan, termasuk juga pidatonya Mbak Atik. Selesai acara aku dan keluarga Mbak Atik berfoto bersama. Kulihat banyak mahasiswa lain yang melemparkan topi wisudanya, mengenakan jubah wisudanya yang membuat mereka terlihat sangat gagah. Kapan aku bisa seperti itu?
         
                                      *************** 
          Hari pernikahan Mbak Atik sudah ditentukan. Aku sudah seperti adiknya sendiri jadi tidak perlu undangan dan bebas ikut terlibat dalam acara pernikahannya. Dari  desain baju yang dikenakan, tata ruang sampai jadi spikolog dadakan pun menjadi pekerjaanku selama  persiapan pernikahannya.
          “Tenang mbak, jangan gugup, si cantik kan


Ada di sini” candaku sambil memegangi tangan Mbak Atik yang sudah gemetaran.
          Mbak Atik hanya tersenyum tipis.
          Tit....tit....titttttttt
          Sebuah panggilan masuk ke hpku. Aku segera menepi dari Mbak Atik dan buru-buru menjawab telephon.
          “Mbak, Mbak Aura tengok ke belakang dech” kata suara di balik telephon, dasar adikku ada-ada saja. Aku mendongakkan kepalaku ke belakang. Ternyata adikku ada di sana, sedang melambaikan tangan ke arahku. Aku segera mendekatinya.
          “Ngapain kamu ke sini? Pake apa ini? Kamu mau jadi selundupan di sini ya pake ginian, dandanannya menor banget lagi.” Komentarku pada make up tebal dan  kebaya yang dikenakannya.
          “Mbak ini gimana sih, kan kemarin aku bilang aku bakalan jadi pagar ayu”
          “Pagar ayu? Siapa yang nikah?”
          “Itu” tunjuk adikku pada seorang pria yang sedang duduk di bangku pengantin.
          “Ar... Arkan....” Ucapku terbata-bata.
          Aku berusaha menahan tubuhku agar tidak goyang. Ya Tuhan, itu benar Arkan, jadi yang sekarang menjadi suami Mbak Atik adalah Arkan. Lelaki impianku yang sudah bertahun-tahun kukagumi.
          “Mbak.... Mbak kenapa?” Tanya Santi yang sudah memegangi tanganku dengan kuat.
          “Engg...Enggak, kamu ke sana aja dulu nanti kamu dicari rombongan.”
          Kulihat wajah bingung adikku mendengar ucapanku, tapi dia hanya menurut saja. Aku pun kembali pada Mbak Atik. Kutatap wajahnya lekat-lekat, akad nikah sudah dibacakan. Lelaki impianku sudah dimiliki wanita lain, wanita yang sudah kuanggap seperti kakakku sendiri. Hatiku sudah sangat perih, remuk semua seakan semuanya sudah runtuh tidak ada harapan. Apa yang harus kulakukan sekarang? Pertanyaan itu ada dalam hatiku.  Aku berusaha menyembunyikan kesedihanku, kupapah Mbak Atik menuju ke tempat duduknya di samping Arkan. Tapi aku tidak bisa bersandiwara terlalu lama.
          Kulangkahkan kaki menjauhi keramaian. Air mataku sudah mengalir begitu saja.” Apa yang harus kulakukan?” Isakku sambil beberapa kali menghapus air mataku. Jadi orang yang taaruffan dengan Mbak Atik adalah Arkan, Arkan Amirruddin. Kenapa aku tidak menyadarinya sedari dulu sejak pertemuanku dengan Mbak Atik di desa waktu itu? Kenapa? Kenapa aku punya begitu banyak harapan yang kini sudah pupus?
          “Ini, kayaknya kamu butuh ini sekarang” Ucap Rehan yang tidak kusadari sudah ada di dekatku dan mengulurkan kotak tissue padaku.
          “Apaan ach” ucapku sedikit sinis.
          “Kamu suka ya sama Arkan?”
          “Tidak” ucapku berbohong.
          “Jawab saja dengan jujur, daripada hatimu semakin sakit.”
          Aku tidak merespon. Aku tidak mengambil tissue yang diulurkannya padaku. Kutahan sebaik mungkin air mataku agar tidak jatuh, tapi sial, tetap saja aku wanita lemah apalagi yang bisa kulakukan selain mengungkapkan emosiku dengan menangis.
          “Arkan sudang taaruffan dengan Eka Atika kira-kira setahun yang lalu, dan dia melamarnya beberapa bulan yang lalu.”
          “Tidak apa-apa kok, aku ikhlas, mungkin bukan jodohku saja.” Jawabku sambil menarik selembar tissue dari genggamannya. Kuulap air mataku dan berusaha membenarkan kembali riasan make upku. Aku sudah tidak bisa berbuat apapun sekarang. Aku tidak mungkin menjadi orang jahat  yang akan menghancurkan pernikahan orang yang sudah seperti kakakku sendiri, aku juga tidak mungkin memutar kembali waktu agar bisa mengungkapkan rasa di hatiku padanya bahkan jauh sebelum setahun lalu. Ini sudah takdir, takdir yang Allah SWT berikan padaku.

                                      *************** 
          Tidak terasa aku sudah mendapat gelar Sarjanaku, dan tiga tahun ini aku sudah tidak bekerja lagi. Sejak wisudaku, kuputuskan untuk pindah ke luar kota. Aku tidak mendapatkan pekerjaan selayaknya jurusan yang kuambil di universitas, kini aku lebih sibuk menulis, beberapa novelku sudah laku di pasaran. Alhamdulillah, novel ketigaku best seller sekarang.      Hubunganku dengan Mbak Atik juga masih baik-baik saja. Aku pun punya kesibukan tersendiri sebagai penulis sekarang. Entah kenapa walaupun aku perlahan-lahan mulai melupakan Arkan, tapi rasa sakitku belum juga hilang.
          “Halo Assalamualaikum Mbak Atik apa kabar?” Sapaku ketika mendapat panggilan darinya.
          “Halo Waalaikumsalam, Aura, kamu ini kemana aja sih! Kayak aku nikah sama orang yang kamu suka aja sejak pernikahanku itu kamu ngilang kayak ditelan bumi sebenarnya kamu itu di mana sih! Aku khawatir nih nggak pernah denger kabar dari kamu.”
          Aku pun tersenyum mendengar candaan Mbak Atik. Emang itu bener Mbak, ungkapku dalam hati.
          “Enggak kok mbak, Cuma lagi pengen fokus sama cita-cita masa kecil.”
          “Emang apa hubungannya cita-cita sama kamu pindah sekarang? Kamu..........” Ucapan Mbak Atik terpotong dan kudengar samar-samar dia sedang berbicara dengan orang lain.” Halo, Aura, ini ada Rehan, katanya pengen ngomong sama kamu.”
          Dug, hatiku berdetak. Untuk apa Rehan mau bicara padaku?
          “Halo assalamualaikum, Aura.”
          “Waalaikumsalam Rehan,” jawabku ramah.
          “Apa kamu baik-baik saja sekarang?”
          “Iya, tentu.”
“Kenapa kamu pindah ke Semarang?” Tanyanya dari balik telephon.
“Aku ingin mencari pengalaman, bosan aku di kota kelahiran terus.” Jawabku mencari alasan.
“Apa ini karena.....”
Ucapan Rehan segera terhenti, aku tahu apa yang akan dia katakan.
“Apa kamu masih menyukainya?” Lanjutnya kembali bertanya.
“Tidak.”
“Jawab dengan jujur!”
“Tidak, aku sudah sangat jujur, TIDAK!”
“Oooh”
“Rehan.”
“Ya”
“Terimakasih untuk waktu itu, kamu sudah menolongku.” Ungkapku berusaha berterimakasih padanya karena telah menjauhkanku dari Arkan ketika aku berusaha mengungkapkan isi hatiku waktu itu.
“Apaan, oh ya kamu sabtu besok bisa nggak pulang ke rumah orang tua kamu?”
“Kenapa?”
“Ya, Sabtu besok bisa nggak?”
“Insyaallah bisa.”
“Jangan hanya insyaallah, jawab yang bener bisa nggak?”
“Iya, aku akan pulang besok sabtu.”
Jawabku sedikit kesal karena terus dipaksa. Hari jumatnya pun aku segera menyiapkan segalanya untuk pulang kampung. Agar tidak terlambat datang untuk menepati ucapanku pada Rehan. Ibuku cukup senang aku pulang ke rumah, kuberikan juga beberapa novel buatanku pada adikku. Sampai hari sabtu datang pun aku masih penasaran kenapa Rehan menyuruhku pulang? Lalu kenapa kemarin bertanya kepadaku apa aku masih suka dengan Arkan atau tidak?
“Aura, sayang ibu mau berbicara sebentar padamu.”
          “Iya, bu, ada apa?”
          “Kamu tahu orang yang tinggal di rumahnya Arkan? Itu yang namanya Rehan, hari ini dia melamar kamu, nak. Jadi apa jawabanmu sekarang?”
Dug...dug....dug....
Hatiku berdetak keras. Perasaan lain muncul dalam diriku bersamaan rasa kagetku. Inikah jawaban kenapa dia menyuruhku untuk pulang hari sabtu? Dia ingin melamarku.
“Itu.... Ibu bolehkah aku bertemu dengannya dulu? Bolehkah kami membicarakan ini terlebih dahulu?” Tanyaku agar aku tidak gegabah dalam mengambil keputusan. Ibuku mengangguk, segera Rehan datang menemuiku.
“kenapa begitu mendadak? Kenapa kamu langsung melamarku, bukankah kita bisa taaruffan terlebih dahulu? Kamu benar-benar membuatku bingung sekarang.”
“Aura, dengarkan aku terlebih dahulu, aku sudah menyukaimu sejak pertama aku datang ke rumahmu bersama Arkan waktu itu, kamu ingat? Waktu kita membutuhkanmu sebagai panitia pengajian, lambat laun aku mulai menyadari bahwa kamu menyukai Arkan, dari caramu memandangnya, berbicara dengannya dan puncaknya pada hari setelah dia selesai solat duha, aku ingin mengatakan padamu bahwa dia sudah menghitbah orang lain, tapi aku takut membuatmu kecewa.”
“Aku tahu aku tidak bisa seperti Arkan, entah apa yang membuatmu kagum darinya. Tapi kumohon, dengan apa adanya diriku, kuharap kamu mau menerimaku menjadi imammu nanti.” Lanjut Rehan sembali menundukkan kepalanya.
Aku berusaha mengambil keputusan terbaikku. Kuingat waktu-waktuku bersamanya dengan orang yang tidak kusangka dia akan begitu mencintaiku. Lelaki impianku yang sudah lama kuimpikan sekarang sudah menjadi milik orang lain. Justru orang lainlah yang tidak kusangka akan melamarku hari ini, mengungkapkan bagaimana isi hatinya sebelum aku yang mengungkapkannya. Aku pun mengangguk tanda setuju, ini keputusanku. Aku menerimanya menjadi imamku nanti. Dialah yang mungkin telah rencanakan untukku. Jodohku yang tidak kusangka akan datang dengan sendirinya tanpa kuharapkan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar